Judul Artikel: Masalah Pendidikan di Indonesia
Diulas oleh Endah. K
Sebagai pemenuhan Tugas 4 yaitu mengulas artikel.
Memang ketidak
merataan pendidikan di Indonesia sudah banyak dirasakan tidak hanya di daerah
terpencil atau pedalaman akan tetapi dialami di kota besar –namun hanya pada
masyarakat tertentu saja. Namun tanggungjawab ini tidak hanya ditanggung oleh
pemerintah semata namun masyarakatpun seharusnya ikut ambil bagian didalamnya.
Ketidakstabilan
pendidikan di Indonesia mungkin tidak hanya terletak pada Undang-Undangnya saja,
akan tetapi pada kebijakan yang sering berganti seturut dengan pergantian
pembuat kebijakan. Yang dirugikan disini bukan hanya lembaga-lembaga pendidikan
namun juga pendidik dan terlebih lagi anak didik.
Anggaran memang
penting namun kesadaran akan pentingnya pendidikan seharusnya lebih diutamakan.
Kesadaran dari pemerintah, kesadaran dari masyarakat dan kesadaran dari
pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan ini.
Peraturan yang
bersifat terpusat memang penting untuk mengatur derap langkah pendidikan secara
menyeluruh, namun karena setiap daerah memiliki keunikan dan keunggulan yang
berbeda setiap kebijakan pun seharusnya mempertimbangkan hal ini, agar
pendidikan yang ada di daerah bisa mengoptimalkan potensi daerah itu
tersendiri.
Mengenai
program wajib belajar yang ada sekarang ini,dapat mejadi acuan bahwa setiap
penduduk diwajibkan untuk belajar selama waktu itu dan Negara seharusnya
menjamin bagaimana setiap penduduk mendapatkannya. Namun ini sulit sekali
terealisasi jika semua yang mengatur pemerintah pusat untuk hal-hal teknisnya.
Teknologi,
Informasi dan Komunikasi yang sudah maju seharusnya dapat digunakan dan
diberdayakan untuk membantu untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi dalam
dunia pendidikan. Misalnya kesenjangan yang terjadi antara si miskin dan si
kaya dapat diatasi dengan cara E-learning. Setiap orang dapat mengakses
E-learning melalui Internet yang bisa dilakukan dimanapun asalkan ada fasilitas
Internet, misalnya di Warnet, melalui televisipun semua orang dapat belajar
tanpa harus menempatkan dirinya sebagai orang miskin.
Namun
pendidikan yang saya ungkapkan diatas adalah model pembelajaran non formal,
dimana setiap orang dapat belajar sendiri melalui media elektronik. Hal ini
tidak dapat diakui sebagai pembelajaran yang semestinya di Negara ini karena
tidak mendapat ijazah.
Saya rasa pada jaman yang serba modern ini seharusnya tidak lagi kesenjangan dalam masyarakat. Memang pada kenyataannya sama seperti yang dikatakan penulis artikel ini, si miskin akan minder dengan si kaya dalam pergaulan mereka. Untuk itu bekali dengan kompetensi yang ada agar tidak minder. Pengetahuan murah dan mudah didapatkan yaitu melalui Internet, beribu-ribu informasi –yang baik– dapat diambil dan digunakan, itu akan menjadi daya saing yang unggul dari pada hanya sekedar uang/kekayaan.
Saya rasa pada jaman yang serba modern ini seharusnya tidak lagi kesenjangan dalam masyarakat. Memang pada kenyataannya sama seperti yang dikatakan penulis artikel ini, si miskin akan minder dengan si kaya dalam pergaulan mereka. Untuk itu bekali dengan kompetensi yang ada agar tidak minder. Pengetahuan murah dan mudah didapatkan yaitu melalui Internet, beribu-ribu informasi –yang baik– dapat diambil dan digunakan, itu akan menjadi daya saing yang unggul dari pada hanya sekedar uang/kekayaan.
Memang benar
untuk sekolah gratis biasanya fasilitas dan yang lainnya kualitas gratisan,
apalagi di daerah terpencil jangankan yang gratis yang bayar saja kualitasnya
biasa-biasa saja. Namun Pemanfaatan TIK dalam pembelajaran sudah diterapkan,
materi pembelajaran yang berkualitas sudah dengan mudah didapatkan. Memang tidak
langsung dapat digunakan,tapi melalui proses yang akan sangat panjang. Akan tetapi
itu salah satu cara pemecahan masalah yang ada.
Kebijakan
apapun di Indonesia memang kerapkali disalah gunakan, kebijakannya dibuat dengan tujuan yang baik dan seharusnya digunakan untuk
menjawab permasalahan yang ada namun yang melakukannya yang sering
tidak baik, jadi kebijakan itu
malah menjadi
kembing hitam atas kesalahan dari pelaksana kebijakan.
Tanggungjawab
masyarakat yang seharusnya memonitor
jalannya pendidikan juga harus bersifat kritis supaya pelaksanaan dari
kebijakan ini terkontrol. Melihat
juga Apakah MBS ini menjadi legitimasi dari pelepasan tanggungjawab Negara terhadap
permasalan pendidikan rakyatnya
atau bukan, karena
jawabannya hanya dapat ditemukan ketika kita sudah terjun dan
terlibat dalam pelaksanaan pendidikan.
Dalam
pelaksanaan pendidikan, pihak swasta pun ikut andil dengan mendirikan lembaga
pendidikan (sekolah) untuk menampung permintaan yang melebihi daya tampung
sekolah negeri. Namun memang menjadi sangat mahal karena mereka mendanai segala
sesuatunya sendiri. Tidak hanya sampai disitu, sekolah sekarang berdiri sebagai sarana
bisnis dan tidakdapat dipungkiri ini juga sangat
berkembang, akan tetapi pasti dengan harga
yang mahal dan kualitas yang
dijamin sudah baik.
Terkadang kita
tidak dapat mempersalahkan sekolah mahal seperti itu karena memang permintaan
pasar mendukung hal itu. Namun sesuai dengan namanya sekolah mahal pasti yang
bisa membayarnya ya orang-orang yang memiliki uang. Lalu bagaimana dengan nasib
yang tidak punya uang.
Menyerah dan
putus sekolah bukan cara yang tepat. Banyak Film yang diambil dari kisah nyata mengenai perjuangan seorang
anak untuk mendapatkan pendidikan dan mereka berhasil yang sudah
dibuat di Indonesia, diambil dari kisah
nyata anak Indonesia dan
yang juga sudah memotivasi anak-anak Indonesia untuk tetap berjuang
walau tidak punya uang. Seperti Denias,
Laskar Pelangi dll. Jika pemerintah tidak dapat maka masyarakatlah yang
seharusnya bergotong royong untuk menolong anak-anak Indonesia bisa mengecap
pendidikan yang layak.
Karena jika menunggu dari pemerintah
akan sampai kapan.
Banyak beasiswa
yang dikeluarkan baik melalui instansi pemerintahan, kementrian,
juga perusahaan swasta yang sudah terbuka dan semua orang bisa membuka dan
mendaftar. Melalui internet. Fasilitas TIK sekali lagi ini sangat berguna, jika
ada yang berkata tidak bisa mengakses internet, saya rasa mungkin bagi daerah
pedalaman sekali, namun jika disana dapat digunakan handphone pasti dapat
mengakses internet, karena handphone sudah dilengkapi dengan fasilitas
internet.
Jadi, jangan
putus asa sebelum berusaha, diera globalisasi ini segala sesuatu serba mudah,
informasi dapat didapatkan dengan mudah, komunikasi juga cepat dan teknologi
juga sudah tersebar di
daerah-daerah.
Masalah
Pendidikan di Indonesia
Peran Pendidikan dalam Pembangunan
Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia unuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan mengkaji mengenai permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangannya.
Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
Memang ketidak merataan pendidikan di Indonesia
sudah banyak dirasakan tidak hanya di daerah terpencil atau pedalaman akan
tetapi dialami di kota besar –namun hanya pada masyarakat tertentu saja. Namun tanggungjawab
ini tidak hanya ditanggung oleh pemerintah semata namun masyarakatpun
seharusnya ikut ambil bagian didalamnya.
Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan
Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.
Penyelesaian
masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi
harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita
tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja,
jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih
rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih
menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di
daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai.
Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan
anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan
wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan
kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah
pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.
Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.
Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”
Penyelenggaraan Pendidikan yang
Berkualitas
”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi dan Swastanisasi Sektor
Pendidikan
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***
Penulis :
Muliani
Program Studi Biologi
Fakultas Pertanian, Perikanan, dan Biologi
Universitas Negeri Bangka Belitung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar