SENYUM YANG TAK PERNAH HABIS
Pagi
itu cuaca dingin, anginpun berhembus kencang sampai-sampai bulu kudukku
berdiri. Srek…srek terdengar suara sekumpulan lidi yang bersentuhan dengan
tanah. Lidi-lidi yang digenggam oleh tangan gempal, dengan otot yang kuat dan tiada berhenti berayun menggiring sampah dan dedaunan yang
berserakan dipinggir jalan, tak mau kalah kakinyapun terus maju seiring
dengan kemana berjalannya sekumpulan sampah dan dedaunan tadi.
Sesekali
ayunan tangan itu berhenti untuk menyeka keringat yang terus membasahi
dahi dan pipinya. Tak menarik kupikir karena hanya petugas kebersihan
saja, toh ditempat lain, tepatnya dipinggir-pinggir jalanpun banyak
juga orang-orang yang seperti itu, jadi kuputuskan untuk tidak
memikirkannya, karena memang itulah profesinya.
Detik demi detik berlalu menit demi menit barganti tapi bus yang kutunggu tak kunjung datang, saat itu angin bertiup sangat kencang dibarengi dengan lambaian daun-daun yang mengucapkan selamat pagi, tak ketinggalan pula banyak diantara mereka yang melepaskan diri dari ranting-ranting dan berjatuhan ke tanah. Srek…srek… terdengar suara itu lagi tetapi dengan langkah yang berbeda arah, terus mundur dan mundur menghampiri dedaunan yang baru saja mendarat di atas jalanan itu, dia kembali menggiring daun-daun itu kesatu arah tempat berkumpulnya daun-daun dan sampah-sampah, tak lama setelah itu datang dari arah yang berlawanan sebuah mobil yang melaju sangat kencang dan tanpa welas asih menghamburkan daun-daun dan sampah-sampah yang sudah terkumpul dengan rapi itu. Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaannya saat itu.
Tak
kudengar lagi langkah kaki dan bunyi srek…srek…ditelingaku. Aku mencoba
untuk membayangkan bagaimana kekesalannya saat itu, bagaimana kusut
wajahnya, mata yang melotot, nafas yang tersengal-sengal, dan saat itu
akupun menunggu-nunggu perkataan apa yang akan dia lontarkan untuk
mengekspresikan kemarahannya bahkan kuhitung sampai tiga dalam hati…
satu…dua…tiga… tak terdengar sepatah katapun, pikirku mungkin dia sudah capek dan tidak berdaya lagi.
Tetapi ketika aku mencoba menengok
kesamping kulihat dia, wanita separuh baya itu sedang membetulkan
ikatan sepatunya yang terlepas, mengikatnya kencang-kencang kemudian
kembali berdiri untuk melanjutkan pekerjaannya yang melelahkan itu,
diwajahnya tak kulihat adanya kekecewaan bahkan kemuramanpun tak
kujumpai, aku terus menatapnya dan tak lepas dia dari pandanganku.
Tiba-tiba dia balas menatapku dan tersenyum dengan senyuman yang sangat
tulus bak malaikat yang membawa kedamaian dan kesejukan dalam batinku,
indahnya saat itu hanya dengan kata-kata itulah aku mengambarkannya.
Aku
akhirnya menyadari bahwa Tuhan sedang memberikan pelajaran yang sangat
berharga melalui waktu yang sangat singkat itu, belajar dari seorang
ibu yang sederhana tentang arti luasnya kesabaran dan senyuman yang tak
pernah habis, ditengah-tengah kondisi yang tidak menyenangkan, bahkan
tidak menguntungkan.
Endah. K (25/09/2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar