Senin, 06 Februari 2012

Senyum yang Tak Pernah Habis

SENYUM YANG TAK PERNAH HABIS

Pagi itu cuaca dingin, anginpun berhembus kencang sampai-sampai bulu kudukku berdiri. Srek…srek terdengar suara sekumpulan lidi yang bersentuhan dengan tanah. Lidi-lidi yang digenggam oleh tangan gempal, dengan otot yang kuat dan tiada berhenti berayun menggiring sampah dan dedaunan yang berserakan dipinggir jalan, tak mau kalah kakinyapun terus maju seiring dengan kemana berjalannya sekumpulan sampah dan dedaunan tadi. 
Sesekali ayunan tangan itu berhenti untuk menyeka keringat yang terus membasahi dahi dan pipinya. Tak menarik kupikir karena hanya petugas kebersihan saja, toh ditempat lain, tepatnya dipinggir-pinggir jalanpun banyak juga orang-orang yang seperti itu, jadi kuputuskan untuk tidak memikirkannya, karena memang itulah profesinya.

Detik demi detik berlalu menit demi menit barganti tapi bus yang kutunggu tak kunjung datang, saat itu angin bertiup sangat kencang dibarengi dengan lambaian daun-daun yang mengucapkan selamat pagi, tak ketinggalan pula banyak diantara mereka yang melepaskan diri dari ranting-ranting dan berjatuhan ke tanah. Srek…srek… terdengar suara itu lagi tetapi dengan langkah yang berbeda arah, terus mundur dan mundur menghampiri dedaunan yang baru saja mendarat di atas jalanan itu, dia kembali menggiring daun-daun itu kesatu arah tempat berkumpulnya daun-daun dan sampah-sampah, tak lama setelah itu datang dari arah yang berlawanan sebuah mobil yang melaju sangat kencang dan tanpa welas asih menghamburkan daun-daun dan sampah-sampah yang sudah terkumpul dengan rapi itu. Tak bisa kubayangkan bagaimana perasaannya saat itu.

Tak kudengar lagi langkah kaki dan bunyi srek…srek…ditelingaku. Aku mencoba untuk membayangkan  bagaimana kekesalannya saat itu, bagaimana kusut wajahnya, mata yang melotot, nafas yang tersengal-sengal, dan saat itu akupun menunggu-nunggu perkataan apa yang akan dia lontarkan untuk mengekspresikan kemarahannya bahkan kuhitung sampai tiga dalam hati… satu…dua…tiga… tak terdengar sepatah katapun, pikirku mungkin dia sudah capek dan tidak berdaya lagi.
Tetapi ketika aku mencoba menengok kesamping kulihat dia, wanita separuh baya itu sedang membetulkan ikatan sepatunya yang terlepas, mengikatnya kencang-kencang kemudian kembali berdiri untuk melanjutkan pekerjaannya yang melelahkan itu, diwajahnya tak kulihat adanya kekecewaan bahkan kemuramanpun tak kujumpai, aku terus menatapnya dan tak lepas  dia dari pandanganku. Tiba-tiba dia balas menatapku dan tersenyum dengan senyuman yang sangat tulus bak malaikat yang membawa kedamaian dan kesejukan dalam batinku, indahnya saat itu hanya dengan kata-kata itulah aku mengambarkannya.

Aku akhirnya menyadari bahwa Tuhan sedang memberikan pelajaran yang sangat berharga melalui waktu yang sangat singkat itu, belajar dari seorang ibu yang sederhana tentang arti luasnya kesabaran dan senyuman yang tak pernah habis, ditengah-tengah kondisi yang tidak menyenangkan, bahkan tidak menguntungkan.

Endah. K (25/09/2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar