BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pemikiran
dari teori konstruktivisme dewasa ini cukup menarik perhatian yang besar kepada
banyak negara, sehingga banyak negara mengadakan perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem pendidikan
mereka.
Menurut
Von Glaserfeld, pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyatan (realitas).
Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu
merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyatan melalui kegiatan
seseorang. Jadi pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi
merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia
sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap
kali mengadakan reorganisasi karena adanya sesuatu pemahaman yang baru(Piaget,
1971).
Para
konstruktivisme menjelaskan bahwa satu-satunya alat/sarana yang tersedia bagi
seseorang untuk mengetahui seseorang adalah indranya. Seseorang berinteraksi
dengan objek dan lingkungan dengan melihat, mendengar, menjamah, mencium, dan
merasakannya. Dari sentuhan indrawi itu seseorang membangun gambaran dunianya.
Misalnya, dengan mengamati air, bermain dengan air, mencicipi air, dan
menimbang air, seseorang membangun gambaran pengetahuan tentang air.
Para
konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang
sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak
seseorang(guru) ke kepala orang lain(murid). Murid sendirilah yang harus
mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap
pengalaman-pengalaman mereka(lorsbach dan tobin,1992)
Tampak
bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang akan dunia dari pada
dunia itu sendiri. Tanpa pengalaman itu, seseorang tidak dapat membentuk
pengetahuan. Pengalaman tidak harus diartikan sebagai pengalaman fisik, tetapi
juga dapat diartikan sebagai pengalaman kognitif dan mental.
Dari
pemikiran-pemikiran inilah timbul adalanya pendekatan konstruktivisme dalam
pendidikan yang dicetuskan oleh beberapa pemikir yang berkontribusi di dalam
pendidikan, yang akhirnya melaluinya dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan
sekarang ini. Beberapa hal tersebut akan dibahas di dalam makalah ini pada bab
III.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa hakikat konstruktivisme?
2.
Beberapa teori
konstruktivisme
3.
Aplikasi konstruktivisme
dalam pendidikan dan pembelajaran.
C.
Tujuan Penulisan Makalah
1.
Memenuhi tugas mata kuliah Orientasi
Baru dalam Psikologi Pendidikan
2.
Menjelaskan pendekatan
konstruktivisme dalam pendidikan
3.
Membukakan pendekatan konstruktivisme dan mempresentasikannya
bagi kelas A PAUD.
BAB II
PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN
A. HAKIKAT KONSTRUKTIVISME
a. Pengertian Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme
didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan
yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan
dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan
dan menjadi lebih dinamis.
Konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang
menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam pikiran manusia. Unsur-unsur
konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan
pembelajaran dalam lembaga pendidikan baik di univesrsitas maupun
sekolah-sekolah.
Paham konstruktivisme memandang bahwa ilmu pengetahuan
yang diajarkan oleh guru di sekolah tidak boeh dipindahkan dari guru kepada
murid dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu membangun suatu pengetahuan
dari pengalaman yang dimilikinya. Pembelajaran adalah hasil daripada usaha
murid itu sendiri dan guru tidak boleh mengajarkan begitu saja untuk muridnya.
Untuk membantu murid membangun konsep atau pengetahuan
baru, guru harus mengetahui struktur kognitif yang mereka miliki. Apabila
pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan bagian dan
pegangan yang kuat bagi mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk
ilmu pengetahuan dapat disusun. Proses ini dinamakan konstruktivisme.
b.
Pembetukan Pengetahuan menurut
Konstrutivisme
Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik
memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam
interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek
menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh
realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek
itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan
berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah.
Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus
melalui proses rekonstruksi.
Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses
pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang
harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain.
Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan
belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan
siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif
siswa.
Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan
berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas,
yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru.
Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik
melainkan pada pembelajar.
Pendekatan
konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1.
Pelajar
aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2.
Dalam konteks
pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3.
Pentingnya membina
pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling
mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4.
Unsur terpenting dalam
teori
ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara
membandingkan informasi baru dengan
pemahamannya yang sudah ada.
5.
Ketidakseimbangan
merupakan faktor motivasi pembelajaran yang
utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya
tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6.
Bahan pengajaran yang
disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik
minat pelajar.
B.
TEORI-TEORI
KONSTRUKTIVISME
B.1 Teori
Konstruktivisme menurut Piaget
Dalam
menjelaskan perkembangan kognitif, Piaget mengajukan fungsi intelegensi anak
dari tiga perspektif yaitu (1) proses yang terjadi ketika berinteraksi dengan
lingkungan (yakni asimilasi, akomodasi dan ekulibrasi), (2) cara bagaimana
pengetahuan disusun dan (3) perbedaan kualitatif dalam berpikir pada berbagai
tahap perkembangan (skema tindakan dari berpikir praoperasional, operasi
konkret dan formal).
Pada tabel dibawah ini
akan menunjukkan pengertian ide dasar teori Piaget.
Tabel
2.1
Konsep
struktur kognitif, fungsi dan tahap
·
Intelegensi
(kecerdasan) adalah kemampuan mengorganisasi dan mengadaptasi lingkungan.
·
Fungsi-fungsi
kognitif pengorganisasian dan pengadaptasian berkontribusi terhadap
perkembangan struktur kognitif.
·
Fungsi-fungsi
kognitif tidak bervariasi terhadap perkembangan
·
Struktur-struktur
kognitif bervariasi terhadap perkembangan
·
Suatu
himpunan (kumpulan, set) struktur-struktur pada suatu ekuilibrium relatif
disebut tahap.
·
Setiap
tahap mengintegrasikan struktur kognitif dari tahap sebelumnya ke orde
struktur baru yang lebih tinggi.
|
1.
Proses yang terjadi ketika berinteraksi dengan lingkungan
(yakni asimilasi, akomodasi dan ekulibrasi)
Piaget mencatat fakta bahwa ketika anak berpikir, mereka
mesti mengadaptasi pengalaman yang langsung dialami dan mode pemikiran dalam
hubungannya dengan pengalaman tersebut. Hasilnya adalah suatu metode pemikiran
baru yang lebih inklusif. Ketika anak berinteraksi dengan lingakungan, mereka
menemui situasi dan objek alamiah yang belum mereka kenal. Situasi ini
menimbulkan kekaburan atau pernyataan bagi individu. Piaget menyebutkan hal
yang membingungkan individu tersebut sebagai keadaan ketidakseimbangan kognitif
(cognitive disequilibrium). Untuk
mengatasi situasi yang tidak menentu itu, individu mesti mengubah cara
berpikirnya, atau memakai istilah Piaget, individu mesti mengadaptasi secara
mental (Trowbridge & Bybee, 1990: 72).
Adaptasi terdiri dari asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah pengambilan pengalaman
dari lingkungan dan menggabungkan dengan cara berpikir yang dimiliki sehingga
pengalaman baru dapat digabungkan ke dalam struktur kognitif. Akomodasi adalah penyesuaian (adjustment) struktur kognitif terhadap
situasi baru. Proses pengasimilasian dan pengakomodasian biasanya terjadi
bersama.
Struktur kognitif berubah
melalui pengadaptasian. Pengadaptasian
merupakan kecenderungan dasar organisme untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Ide pusat dalam keadaan ini adalah pengalaman mempunyai efek
pada pembangunan struktur kognitif. Pengembangan diperoleh melalui
pengadaptasian secara terus-menerus terhadap lingkungan. Pengasimilasian terhadap aksi motorik atau kognitif didasarkan pada
struktur kognitif yang dimiliki oleh individu. Individu kemudian
mengintepretasikan situasi lingkungan dalam term (istilah) struktur kognitif
yang dia miliki.
Inilah yang diartikan
sebagai pemodifikasian realitas
dalam pemecahan melalui pemakaian eksplanasi yang tersedia, sebagai usaha
menginterpretasikan kenyataan yang ada dengan cara melakukan penginderaan
terhadap kenyataan tersebut. Dengan kata lain, individu mencoba beradaptasi
terhadap lingkungan melalui pengasimilasian.
Pengakomodasian adalah
komponen lain dari proses adaptasi. Struktur kognitif diubah agar cocok dengan
informasi yang datang. Hal ini merupakan pemodifikasian eksplanasi yang
dimiliki agar cocok dengan realitas. Dalam proses pengakomodasian pada
lingkungan, struktur kognitif dikembangkan makin luas atau digeneralisasikan
ketika mereka digabungkan dalam meningkatkan aspek yang lebih luas tentang
dunia. Proses pengadaptasian ini mempunyai batas tertentu.
Piaget menyatakan bahwa
asimilasi dan akomodasi adalah dua sisi dari koin adaptip (dalam
Trwbride & Bybee, 12990: 91), yakni keduanya hanya dapat dipisah dalam
pendiskusian, tetapi keduanya tidak dapat dipisah ketika individu berinteraksi
dengan lingkungan.
Bagaimana individu dapat
simultan mempertahankan integritas struktur kognitif dan mengubah stuktur
kognitif? Piaget memakai prinsip pengorganisasian
dan pengadaptasian yang dikenal dalam biologi, yakni dipakai sebagai metafora bagi fungsi kognitif.
Pengorganisasian dan pengadaptasian
merupakan fungsi yang bersifat komplementer.
Pengorganisasian dapat
dipikirkan sebagai kecenderungan bawaan dasar organisme. Hal ini benar secara
biologi dan dipakai Piaget secara psikologi. Pengorganisasian adalah
kecenderungan (tendensi) tindakan (aksi) pensistematisan dan pengintegrasian,
yang bersifat motorik atau kognitif menjadi koheren yang berorde.
Seperti halnya asimilasi
dan akomodasi, ekulibrasi juga penting dalam teori Piaget. Istilah ekuilibrasi dalam perkembangan kognitif
diartikan sebagai pengaturan diri (self
regulation) yang berkesinambungan yang memungkinkan individu tumbuh,
berkembang dan berubah, sementara individu tetap menjaga kemantapannya. Namun,
ekuilibrasi bukan keseimbangan kekuatan (yang merupakan proses yang dinamis
secara terus menerus mengatur tingkah laku (Berk, 1989:224). Ekuilibrasi
meregulasi proses berpikir individu pada tiga aras fungsi kognitif yang
berbeda. Ketiganya adalah hubungan antara (1) asimilasi dan akomodasi dalam
kehidupan individu sehari-hari, (2) sub-sub sistem pengetahuan yang timbul pada
diri individu, dan (3) bagian-bagian dari pengetahuan individu dan sistem
pengetahuan sosial.
Peranan ekuilibrasi dalam meregulasi asimilasi dan
akomodasi adalah mencegah jangan
sampai yang satu terjadi atas kerugian yang lain, serta mengusahakan
keseimbangan sub-sub sistem yang berkembang dengan kecepatan yang berlainan,
yang dapat menghilangkan konflik di antara sub-sub sistem tersebut. Gangguan
bisa dipecahkan dengan jalan pemodifikasian struktur internal individu, atau
akomodasi. Jika terjadi akomodasi dalam proses berpikir anak, maka tercapaikah
satu keadaan keseimbangan yang baru atau ekuilibrium.
Sebagai fungsi yang
ketiga ekuilibrium meregulasi hubungan antara bagian-bagian dari pengetahuan
individu dan pengetahuan totalnya. Piaget menyatakan bahwa totalitas
pengetahuan itu selalu didiferensiasikan atas bagian-bagian dan dipadukan
kembali menjadi keseluruhan. Ekuilibrasilah yang mengatur proses tersebut.
Dengan demikian, ekuilibrasi merupakan faktor yang menjaga kemantapan selama
proses interaksi yang terus terjadi dan perubahan yang juga terus terjadi terus
menerus. Tanpa ekuilibrasi, perkembangan kognitif bisa kehilangan keseimbangan
dan keterpautan, dan menjadi terpotong-potong serta morat-marit (Gredler, 1992:
225-227).
2.
Bagaimana pengetahuan disusun
Berdasarkan uraian
diatas, dapat disimpukan bahwa proses dasar yang terjadi pada penyusunan
pengetahuan adalah asimilasi dan akomodasi yang diatur oleh ekuilibrasi. Selain
itu, Piaget menjelaskan bahwa penyusunan pengetahuan berdasarkan jenis
pengalaman pengetahuan yang terjadi pada diri individu yang belajar.
Jenis-jenis tersebut adalah pengalaman fisik dan pengalaman kognitif.
Setiap pertemuan langsung
antara individu dengan lingkungan, dimana individu mengabtraksikan ciri-ciri
fisik subjek disebut pengalaman fisik. Dalam pengalaman fisik, suatu sifat
tertentu seperti warna atau bentuk diasimilasikan kedalam struktur mental/
kognisi individu yang belajar. Pada waktu yang sama terjadi pula akomodasi.
Struktur mental individu mungkin lalu akan menyesuaikan diri pada intensitas
warna (cerah atau suram), tingkat warna tertentu (muda atau gelap) dan
sebagainya. Dengan demikian, pengalaman fisik meliputi baik proses asimilasi
maupun akomodasi. Sember pengalaman baru bagi individu yang belajar dalam
pengalaman fisik ialah objek-objek yang ada diluar individu tersebut. Prosesnya
adalah melalui pengabstrakan ciri-ciri fisik objek oleh individu/ anak dalam
PAUD. Piaget menyebut pengetahuan berdasarkan pengalaman seperti ini sebagai
pengetahuan eksogen atau proses abstraksi empirik (Gredler, 192: 225-227).
3.
Perbedaan kualitatif dalam berpikir pada berbagai tahap
perkembangan (skema tindakan dari berpikir praoperasional, operasi konkret dan
formal)
Tabel 2.2
Tahap perkembangan menurut Piaget
Piaget pada awal
penelitiannya tentang bagaimana anak berpikir, telah dapat mengidentifikasikan
empat periode atau tahap perkembangan kognitif. Tapa perkembangan tersebut
adalah sensomotorik, praoperasional, operasional konkret dan operasional formal
(Gredler, 1992: 299). Keempat tahap tersebut dapat dilikat pada Tabel 2.2.
Bentuk paling maju dari
berpikir logis, yang kuat dapat diidentifikasi Piaget, adalah operasi formal. Proses-proses berpikir logis dikarakterisasi sebagai
kemampuan memformulasi
himpunan-himpunan hipotesis. Kemudian hipotesis yang kompatibel dengan situasi
yang dipelajari (inhelder & Piaget, 1958: 250). Pada tingkat operasional
formal,penalaran individual adalah dari suatu kerangka kerja (hipotesis) menuju
pengujian teori.
Dalam perkembangan
kognitif, yang paling penting dicatat adalah pencapaian tingkat berpikir yang
lebih tinggi tidak dapat dengan mudah dicapai. Anak mesti memikirkan kembali pandangannya dibandingkan dengan keadaan
yang terjadi di dunia nyata.
Langkah penting dalam proses ini adalah pengalaman konflik kognitif (cognitif conflict), yakni, anak
menjadi tanggap terhadap fakta bahwa dia
memegang dua pandangan yang kontradiktif tentang situasi dan keduanya tidak
dapat sama-sama benar. Langkah ini yang disebut dengan (disequilibrium). Bila
anak menyadari bahwa cara berpikirnya bertentangan dengan kejadian di
lingkungan, maka cara berpikir sebelumnya direorganisasi. Reorganisasi
tersebut, yang menghasilkan tingkat berpikir yang lebih tinggi.
B.2 Teori
Konstruktivisme menurut Vygotsky
Teori
Piaget deephasized (tidak menekankan)
pentingnya bahasa sebagai sumber utama perkembangan kognitif. Teori tersebut
ditentang oleh seorang psikolog Rusia, Lev Semanovich Vigotsky (1896-1934),yang
ternyata penenlitiannya belum diketahui di Amerika Serikat sampai karyanya diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1960. Sejak itu, karya Vigotsky dikenal luas
dalam bidang perkembangan anak (Berk, 1989:225).
Vygotsky
(dalam Berk, 1989: 257) percaya bahwa semua fungsi mental yang lebih tinggi
berasal dari hubungan sosial dan muncul pertama kali pada suatu daerah (bidang)
hubungan interpersonal antara
individu, sebelum mereka berada pada suatu daerah (bidang) intra psychic, dalam individu. Beliau menekankan peranan sentral
komunikasi sosial dalam perkembangan berpikir anak, dengan memahami
pembelajaran anak mengambil tempat dalam Zone
Proximal Development: ZPD (Zona Perkembangan (ter) Dekat anak adalah
sesuatu yang begitu sulit dilakukan sendiri, tetapi mereka dapat menjadi
terampil dengan bimbingan dan bantuan verbal orang dewasa atau anaklain yang
lebih terampil. Dengan demikian, anak dapat mengambil bahasa instruksi verbal
tersebut, membuatnya sebagai bagian berbicara pribadi mereka, dan memakainya
untuk mengorganisasi usaha bebas mereka dengan cara yang sama.
Vygotsky
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan
permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa
mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan.
Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya
mencapai keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke
jenjang yang lebih tinggi menjadi optimum.
Konstruktivisme
Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar
individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses
dalam kognisi diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social
budaya. Proses penyesuaian itu equivalent dengan pengkonstruksian pengetahuan
secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam
hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan
teknik saling tukar gagasan antar individual.
Dua
prinsip penting yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah: (1), mengenai
fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses
pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan
pengetahuan, (2) zona of proximal development. Pembelajar sebagai mediator
memiliki peran mendorong dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun
pengetahuan, pengertian dan kompetensi.
Pengetahuan
dan pengertian dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog
dan aktif dalam percobaan-percobaan dan pengalaman. Pembentukan makna adalah
dialog antar pribadi. Dalam hal ini pembelajar tidak hanya memerlukan akses
pengalaman fisik tetapi juga interaksi dengan pengalaman yang dimiliki oleh
individu lain. Pembelajaran yang sifatnya kooperatif (cooperative learning) ini muncul ketika siswa bekerja sama untuk
mencapai tujuan belajar yang diinginka oleh siswa. Pengelolaan kelas menurut
cooperative learning bertujuan membantu siswa untuk mengembangkan niat dan kiat
bekerja sama dan berinteraksi dengna siswa yang lain. Ada tiga hal penting yang
perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas yaitu: pengelompokan, semangat
kooperatif dan penataan kelas.
Implikasi
teori konstruktivis sosial dalam pembelajran yaitu dengan menggunakan guru dan
teman sebaya sebagai kontributuror bersama untuk pembelajaran murid. Terdapat
beberapa alat untuk melakukan metode tersebut yaitu: Scaffolding, Discovery Learning, Self-regulated learning, cooperative
learning, dan tutoring.
1. Pembelajaran Scaffolding
Pengertian
istilah scaffolding
berasal dari istilah ilmu teknik sipil yaitu berupa bangunan kerangka sementara
atau penyangga (biasanya terbuat dari bambu, kayu, atau batang besi) yang
memudahkan pekerja membangun gedung. Metapora ini harus secara jelas dipahami
agar kebermaknaan pembelajaran dapat tercapai.
Sebagian
pakar pendidikan mendefinisikan scaffolding berupa bimbingan yang diberikan oleh
seorang pembelajar kepada peserta didik dalam proses pembelajaran dengan
persoalan-persoalan terfokus dan interaksi yang bersifat positif. Scaffolding
diartikan ke dalam bahasa Indonesia “perancah”, yaitu bambu (balok dsb) yang
dipasang untuk tumpuan ketika hendak mendirikan rumah, membuat tembok, dan
sebagainya (Poerwadarminta, 1983; 735).
Penjelasan tersebut di atas dapat ditemukan garis besar, prinsip-prinsip
konstruktivis sosial dengan pendekatan scaffolding yang diterapkan dalam pembelajaran adalah
sebagai berikut:
·
Pengetahuan dibangun oleh peserta didik
sendiri.
·
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari
pembelajar ke peserta didik, kecuali hanya.
·
Dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk
menalar.
·
Peserta didik aktif megkontruksi secara terus
menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
·
Pembelajar sekedar memberi bantuan dan
menyediakan saran serta situasi agar proses kontruksi belajar lancar.
·
Menghadapi masalah yang relevan dengan peserta
didik.
·
Struktur pembelajaran seputar konsep utama
pentingnya sebuah pertanyaan.
·
Mencari dan menilai pendapat peserta didik.
·
Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi
anggapan peserta didik.
2. Discovery Learning (Pembelajaran Dengan Penemuan)
Discovery learning merupakan satu komponen penting dari
pendekatan konstruktivis modern yang memiliki sejarah panjang dalam inovasi
pendidikan. Di dalam pembelajaran ini, para peserta didik didorong untuk
leluasa belajar dengan keterlibatannya secara aktif pada pelbagai konsep dan
prinsip. Di sini guru berupaya memotivasi mereka untuk memiliki pengalaman
dengan melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan sendiri
prinsip-prinsip tersebut. Tentang ini Bruner (1966) mengatakan: “kita
mengajarkan satu bidangstudi tidak untuk menghasilkan pelbagai perpustakaan
kecil nan hidup tentang bidangstudi tersebut, tetapi lebih untuk menjadikan
peserta didik itu mampu berpikir. Bagi dirinya sendiri agar dapat
mempertimbangkan layaknya seorang sejarawan, menjadi bagian dari proses
membangun pengetahuan. Mengetahui itu proses, bukan produk”
Discovery
learning memilki banyak manfaat, di antaranya: mampu menggugah rasa
keingin-tahuan para peserta didik; mendorong mereka utuk terus bekerja hatta
menemukan jawaban; mereka juga bisa belajar keterampilan problem-solving dan
berpikir kritis secara mandiri karena pada pembelajaran ini mereka dituntut
untuk melakukan analisis dan rekayasa terhadap informasi. Namun pembelajaran
ini juga bisa terjebak dalam kesalahan dan pemborosan waktu. Karenanya,
pembelajaran diskoveri-terbimbing (guided discovery learning) lebih dianjurkan daripada
diskoveri-murni (pure discovery learning). Pada diskoveri-terbimbing
guru dapat berperan lebih aktif: memberi petunjuk, membuat struktur (porsi)
aktivitas, hingga menyediakan garis besar (outlines) pikiran.
3.
Self-Regulated Learning (Pembelajaran Mandiri)
Satu konsep kunci teori konstruktivis adalah
pandangan tentang peserta didik yang ideal, yakni pebelajar mandiri (Paris
& Paris, 2001). Yaitu dia yang memiliki pengetahuan tentang strategi
belajar efektif dan bagaimana memanfaatkannya di manapun dan kapanpun (Bandura,
1991; Dembo &Eaton, 2000; Schunk & Zimmerman, 1997; Winne, 1997).
Misalnya, dia mengetahui bagaimana memecahkan masalah yang kompleks dengan langkah-langkah
yang lebih mudah atau melalui pengujian pelbagai alternatif solusi (Greeno
&Goldman, 1998); dia tahu bagaimana dan kapan harus membaca secara skiming
dan kapan mesti membaca untuk pemahaman yang mendalam; dia mengerti
bagaimana tatacara menulis untuk tujuan persuasif dan bagaimana menulis untuk
tujuan informatif (Zimmerman & Kitsantas, 1999).
Lebih dari itu, pebelajar
mandiri adalah dia yang belajar karena dorongan dari dalam diri, bukan karena
ingin naik tingkat atau provokasi orang lain (Boekaerts, 1995; Corno, 1992;
Scunk, 1995), dan dia mampu memancangkan tugas jangka panjang hingga
benar-benar terselesaikan.
4.
Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif
merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang menganut faham konstruktivisme. Pembelajaran
kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota
kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas
kelompok, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling
membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif,
belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum
menguasai bahan pelajaran. Rasa tanggung jawab bersama atas penguasaan sebuah
kompetensi oleh seluruh anggota kelompok ditekankan.
Unsur-unsur
dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut (Lungdren, 1994).
1.
Para
siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama.”
2.
Para
siswa harus memiliki tanggungjawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam
kelompoknya, selain tanggungjawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari
materi yang dihadapi.
3.
Para
siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.
4.
Para
siswa membagi tugas dan berbagi tanggungjawab di antara para anggota kelompok.
5.
Para
siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh
terhadap evaluasi kelompok.
6.
Para
siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja
sama selama belajar.
7.
Setiap
siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang
ditangani dalam kelompok kooperatif.
Pada pembelajaran
kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama
dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa
diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan
untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai
ketuntasan (Slavin, 1995).
5.
Tutoring
Tutoring
pada dasarnya adalah pelatihan kognitif antara pakar dengan pemula. Tutoring
bisa terjadi antara orang dewasa dan anak-anak , atau antara anak yang lebih
pandai dengan anak yang kurang pandai. Tutoring individual adalah strategi yang
efektif yang menguntungkan banyak murid, terutama mereka yang kurang pandai
dalam suatu mata pelajaran.
B.3 Teori
Konstruktivisme menurut Bruner
Bruner yang memiliki
nama lengkap Jerome S.Bruner dilahirkan tahun 1915. Ia seorang ahli psikologi
dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, yang terkenal telah
banyak menyumbang dalam penulisan teori pembelajaran, proses pengajaran dan
falsafah pendidikan. Bruner bersetuju dengan Piaget bahawa perkembangan
kognitif kanak-kanak adalah melalui peringkat-peringkat tertentu. Walau
bagaimanapun, Bruner lebih menegaskan pembelajaran secara penemuan Yaitu
mengolah apa yang diketahui pelajar itu kepada satu corak dalam keadaan baru
(lebih kepada prinsip konstruktivisme). Bruner telah mempelopori aliran
psikologi kognitif yang memberi dorongan agar pendidikan memberikan
perhatian pada pentingnya pengembangan berfikir. Bruner banyak memberikan
pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar,
atau memperoleh pengetahuan dan mentransformasi pengetahuan. Dasar pemikiran
teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemproses, pemikir dan pencipta
informasi. Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang
memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru diluar informasi yang
diberikan kepada dirinya.
Jerome S. Bruner
adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar kognitif.
Pendekatannya tentang psikologi adalah eklektik. Penelitiannya yang demikian
banyak itu meliputi persepsi manusia, motivasi, belajar dan berfikir. Dalam
mempelajarai manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir dan
pencipta informasi. Bruner menganggap, bahwa belajar itu meliputi tiga proses
kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi pengetahuan, dan
menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Pandangan terhadap belajar yang
disebutnya sebagai konseptualisme instrumental itu, didasarkan pada dua
prinsip, yaitu pengetahuan orang tentang alam didasarkan pada model-model
mengenai kenyataan yang dibangunnya, dan model-model itu diadaptasikan pada
kegunaan bagi orang itu.
Pematangan
intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang ditunjukkan oleh bertambahnya
ketidaktergantungan respons dari sifat stimulus. Pertumbuhan itu tergantung
pada bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjadi suatu
”sistem simpanan” yang sesuai dengan lingkungan. Pertumbuhan itu menyangkut
peningkatan kemampuan seseorang untuk mengemukakan pada dirinya sendiri atau
pada orang lain tentang apa yang telah atau akan dilakukannya.
Menurut Bruner
belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan. Pengetahuan yang
diperoleh melalui belajar penemuan bertahan lama, dan mempunyai efek transfer
yang lebih baik. Belajar penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan berfikir
secara bebas dan melatih keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan dan
memecahkan masalah.
Maka dalam pengajaran
di Sekolah Brunner mengajukan bahwa dalam pembelajaran hendaknya mencangkup:
1) Pengalaman –
pengalaman optimal untuk mau dan dapat belajar. Pembelajaran dari segi siswa
adalah membantu siswa dalam hal mencari alternative pemecahan masalah. Dalam
mencari masalah melalui penyelidikan dan penemuan serta cara pemecahannya
dibutuhkan adanya aktivitas, pemeliharaan dan pengarahan. Artinya bahwa
kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan
sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu.
2) Penstrukturan
Pengetahuan untuk Pemahaman optimal. Pembelajaran hendaknya dapat memberikan
struktur yang jelas dari suatu pengetahuan yang dipelajari anak – anak. Dengan
perkataan lain, anak dibimbing dalam memahami sesuatu dari yang paling khusus
(deduktif) menuju yang paling kompleks (induktif), bukanya konsep yang lebih
dahulu diajarkan, akan tetapi contoh-contoh kongkrit dari kejujuran itu
sendiri.
3). Perincian
urutan-urutan penyajian materi pelajran secara optimal, dengan memperhatikan
faktor-faktor belajar sebelumnya, tingkat perkembangan anak, sifat materi
pelajaran dan perbedaan individu.
4). Bentuk dan
pemberian reinforsemen. Beliau berpendapat bahawa seseorang murid belajar
dengan cara menemui struktur konsep-konsep yang dipelajari. Kanak-kanak
membentuk konsep dengan mengasingkan benda-benda mengikut ciri-ciri persamaan
dan perbezaan. Selain itu, pengajaran didasarkan kepada perangsang murid
terhadap konsep itu dengan pengetahuan sedia ada. Misalnya,kanak-kanak membentuk
konsep segiempat dengan mengenal segiempat mempunyai 4 sisi dan memasukkan
semua bentuk bersisi empat kedalam kategori segiempat,dan memasukkan
bentuk-bentuk bersisi tiga kedalam kategori segitiga.
Ciri khas Teori
Pembelajaran Menurut Bruner adalah mengenai “Empat Tema tentang Pendidikan”. Bruner
mempermasalahkan seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat
ditransformasikan . Perlu diketahui, tidak hanya itu saja namun dalam proses
belajar juga ada empat tema pendidikan yang perlu diperhatikan yaitu:
1. mengemukakan pentingnya arti struktur
pengetahuan. Hal ini perlu karena dengan struktur pengetahuan kita menolong
siswa untuk untuk melihat, bagaimana fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada
hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain.2
2.
tentang
kesiapan untuk belajar. Menurut Bruner kesiapan terdiri atas penguasaan
ketrampilan-ketrampilan yang lebih sederhana yang dapat mengizinkan seseorang
untuk mencapai kerampilan-ketrampilan yang lebih tinggi.
3.
menekankan
nilai intuisi dalam proses pendidikan. Dengan intuisi, teknik-teknik
intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui
langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu
merupaka kesimpulan yang sahih atau tidak.
4.
tentang
motivasi atau keingianan untuk belajar dan cara-cara yang tersedia pada para
guru untuk merangsang motivasi itu.
Selain ini Bruner juga mengemukakan Model dan
Kategori. Pendekatan Bruner
terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi. Asumsi pertama adalah bahwa
perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan
penganut teori perilakau Bruner yakin bahwa orang yang belajar berinteraksi
dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan
tetapi juga dalam diri orang itu sendiri.
Lain hal lagi dengan Belajar sebagai Proses
Kognitif. Bruner mengemukakan
bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ada
tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu tahap informasi,
yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru; tahap
transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta
ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain,
dan Tahap evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap
kedua tadi benar atau tidak.
Perolehan informasi
baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan penjelasan guru
mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan audiovisual dan
lain-lain.Proses transformasi pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana kita
memperlakukan pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan
kebutuhan.Informasi yang diterima dianalisis, diproses atau diubah menjadi
konsep yang lebih abstrak agar suatu saat dapat dimanfaatkan.
Dalam tahap ini
bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi Simbol-simbol atau
lambang-lambang objek tertentu.
1) Cara penyajian enaktif. Ialah melalui tindakan, jadi bersifat
manipulatif. Dengan cara ini seseorang mengetahui suatu aspek dari kenyataan
tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata. Jadi cara ini terdiri atas penyajian
kejadian-kejadian yang lampau melalui respon-respon motorik Dalam tahap ini
penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlihat dalam
memanipulasi (mengotak atik)objek. Misalnya seseorang anak yang enaktif
mengetahui bagaimana mengendarai sepeda.
2) Cara penyajian ikonik. Didasarkan atas pikiran internal.
Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep,
tetapi tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu. Dalam tahap ini kegiatan
penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan
disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakuka anak,
berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang
dimanipulasinya. Misalnya sebuah segitiga menyatakan konsep kesegitigaan.
3) Penyajian simbolik. Menggunakan kata-kata atau bahasa.
Penyajian simbolik dibuktikan oleh kemampuan seseorang lebih memperhatikan
proposisi atau pernyataan daripada objek-objek, memberikan struktur
hirarkis pada konsep-konsep dan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan
alternatif dalam suatu cara kombinatorial. Dalam tahap ini kegiatan penyajian
dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana pengetahuan disajikan melalui
serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakuka anak, berhubungan dengan
mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya
C.
APLIKASI
KONSTRUKTIVISME DALAM
PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN
Aplikasi dari teori konstruktivisme dalam pendidikan dan pengajaran
terutama bagi Anak Usia dini yang dapat langsung diterapkan dikelas adalah
1.
Pendidik dapat mendorong
kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasan-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir
mandiri, berarti guru membantu siswa
menemukan identitas kecerdasan mereka. Para siswa yang merumuskan
pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah
mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta
menjadi pemecah masalah (problem solver).
2.
Pendidik dapat
mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada pembelajar
untuk merespon.
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar
gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan
dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun
keberhasilan dalam melakukan penyelidikan.
3.
Mendorong
pembelajar/siswa berpikir dalam tingkatan tinggi sesuai dengan pekembangannya.
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para
siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual
yang sederhana.
4.
Siswa terlibat secara
aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat
intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan
gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang
mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan
mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka
sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka
dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas.
5.
Pembelajar terlibat
dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa
menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan
konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa
untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan
pengalaman nyata.
6.
Pendidik/Guru
memberikan data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para
siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata.
Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau
pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara
bersama-sama.
Namun, secara umum aplikasi
dari teori konstruktivisme ini dapat digunakan disekolah-sekolah dengan
tingkatan apapun disesuaikan dengan perkembangan setiap individu. Bagi pengajar
teori konstruktivisme ini sangat berguna untuk membantu memperlakukan siswa
didik dengan benar dan tepat untuk perkembangan kognisi, sosial dan aspek-aspek
lainnya yang akan menolong anak didik untuk berkembang secara maksimal.
Bagi anak yang diajarpun akan
memiliki ruang yang cukup untuk dapat membantu dirinya belajar sendiri, belajar
untuk tidak bergantung kepada orang dewasa (dalam hal tertentu). Dan kecerdasan
yang dimilikinya akan berkembang secara optimal sesuai dengan tingkatan
perkembangan yang dia miliki.
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Kanisius
1997. hlm. 18-19
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Tekanan utama teori konstruktivisme adalah lebih memberikan tempat kepada
siswa/subjek didik dalam proses pembelajaran dari kepada guru atau instruktur.
Teori ini berpandangan bahwa siswa yang berinteraksi dengan berbagai obyek dan
peristiwa sehingga mereka memperoleh dan memahami pola-pola penanganan terhadap
objek dan peristiwa tersebut.
Dengan demikian siswa
sesungguhnya mampu membangun konseptualisasi dan pemecahan masalah mereka
sendiri. Oleh karena itu kemandirian da kemampuan berinisiatif dalam proses
pembelajaran sangat didorong untuk dikembangkan.
Para ahli konstruktivisme memandang bahwa belajar sebagai hasil dari
konstruksi mental. Para siswa belajar dengan mencocokkan informasi baru yang
mereka peroleh bersama-sama dengan apa yang telah mereka ketahui. Siswa akan dapat belajar dengan baik jika mereka mampu
mengaktifkan konstruk pemahaman mereka sendiri
sendiri.
Menurut para ahli konstruktivisme, belajara juga dipengaruhi oleh konteks,
keyakinan , dan sikap siswa. Dalam proses pembelajaran para siswa didorong
untuk menggali dan menemukan pemecahan masalah mereka sendiri serta mencoba
untuk merumuskan gagasan-gagasan dan hipotesis.
Mereka diberikan peluang dan kesempatan yang luas untukmembangun pengetahuan
awal mereka.
Dalam perkembangannya terdapat pemikiran dalam teori konstruktivisme ini,
namun semua berdasarkan pada asumsi dasar yang sama tentang belajar. Dan teori
konstruktivisme yang utama dikenal dengan istilah konstruktivisme sosial (Social
Constructivism) dan konstruktivisme
kognitif (Cognitive Constructivism).
Akhir-ahkhir ini proses pembelajaran konstruktivisme didasarkan pada
temuan-temuan penelitian mutahir tentang otak/pikiran manusia dan apa yang
dikenal dengan bagaimana proses belajar terjadi.
SARAN
Saran saya setelah menulis makalah ini adalah
1. Tetap mendasarkan moral pada
pembelajaran konstruktivisme ini karena arus globalisasi yang semakin maju,
mempermudah anak untuk membangun pemikirannya juga kepada hal-hal yang
negative.
2. Memakai pendekatan konstruktivisme
ini sesuai kebutuhan si anak, karena ada pendekatan lain seperti behaviorisme
dan sosial kognitif juga yang dalam hal yang lain dapat diterapkan kepada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Gasong, Dina. Makalah : Model
Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai Alternatif Mengatasi Masalah Pembelajaran.
Jakarta
http://education-mantap.blogspot.com/2010/10/teori-konstruktivisme-dalam.html
Ibrahim (1988), Inovasi
Pendidikan, Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan.
Johnson, D.W. & Johnson, R. (1989), Cooperation and Competition: Theory and Research, Edina, MN:
Interaction Book Company
Lie,
Anita (2007), Cooperative Learning:
Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, Jakarta :
Grasindo,
Sanjaya, Wina. (2006), Strategi
Pembelajaran : Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta : Kencana
Santrock, J. W. (2010), Psikologi Pendidikan, Jakarta : Kencana.
Slavin, R.E, (2008), Psikologi Pendidikan : Teori dan Praktek, Jakarta : PT Indeks